Alokasi Dana Desa ( ADD ) Dipangkas, Desa Dipertaruhkan: Sampai Kapan Desa Jadi Tumbal Anggaran ?
Pemangkasan ADD 2026 bukan sekadar koreksi fiskal; ini adalah pengingat pahit bahwa desa selalu menjadi korban paling mudah ketika pemerintah daerah kekurangan keberanian menata anggaran.
Desa adalah akar, tetapi mengapa yang ditebang selalu justru akarnya? Pertanyaan ini layak diajukan, karena keputusan ini tidak hanya memotong angka—ia memotong denyut kehidupan pelayanan publik.
Apakah pemerintah daerah benar-benar menghitung apa yang dipangkasnya? Rerata Rp50–60 juta per desa mungkin terlihat kecil dari kursi birokrasi kabupaten, tetapi di tingkat desa, itulah darah yang mengalirkan siltap perangkat, insentif RT/RW, dan roda kecil yang membuat desa tetap hidup.
Memangkasnya berarti meminta mesin berjalan tanpa oli. Lalu jika mesin mogok, siapa yang disalahkan? Desa lagi.
Yang lebih ironis, program-program yang paling menyentuh rakyat kecil justru yang pertama kali terancam.
Posyandu yang menjaga kesehatan balita, kegiatan mengaji yang menjaga akhlak, ronda malam yang menjaga keamanan, hingga organisasi pemuda yang menjaga energi desa—semuanya bisa terhenti.
Pertanyaannya sederhana: beranikah pemerintah daerah mengatakan bahwa penghematan ini sebanding dengan hilangnya pelayanan dasar warga?
Desa selalu diminta kuat. Diminta mandiri. Diminta kreatif. Tetapi dengan anggaran yang dipangkas, apa yang sebenarnya diharapkan dari desa? Gotong royong? Ya, gotong royong adalah kekuatan desa.
Tapi gotong royong bukan alasan untuk membiarkan negara melepas tanggung jawabnya. Tidak ada kader posyandu yang bisa disuruh tersenyum sambil bekerja tanpa insentif.
Tidak ada perangkat desa yang bisa melayani maksimal jika penghasilannya terjun bebas.
Konsolidasi para kepala desa adalah tanda bahwa sabar itu ada batasnya. Ketika paguyuban bergerak, itu artinya bukan lagi sekadar protes—itu adalah peringatan. Desa sedang bicara.
Dan suara desa adalah suara rakyat langsung, bukan suara yang teredam di balik meja rapat. Jika suara ini diabaikan, jangan kaget jika gelombang ketidakpercayaan makin besar dan makin sulit ditenangkan.
Alasan “penurunan transfer pusat” bukan lagi cukup. Itu penjelasan teknis, bukan pembenaran moral.
Pemerintah daerah masih punya banyak ruang untuk efisiensi selain memotong desa. Pertanyaannya: mengapa desa yang paling dulu disasar? Apakah karena desa dianggap tidak bersuara lantang? Atau karena desa tidak punya kekuatan menolak? Jika demikian, pemangkasan ini bukan sekadar soal anggaran—ini soal keberpihakan.
Pemotongan ADD tanpa mitigasi adalah perjudian besar. Desa adalah titik stabilitas sosial. Jika desa terguncang, getarannya merambat cepat ke seluruh kabupaten.
Jangan sampai pemerintah daerah lupa bahwa kekuatan pemerintahan bukan di gedungnya, tetapi di desa-desa yang menjalankan fungsi publik langsung bagi warga. Jika desa retak, struktur di atasnya tidak akan aman.
Pada akhirnya, pertanyaan besar itu kembali muncul: sampai kapan desa menjadi “tumbal” setiap kali anggaran tertekan? Jika pemerintah daerah ingin menunjukkan keberpihakan, bukan dengan kata-kata saat audiensi, tetapi dengan keputusan yang melindungi desa.
Karena ADD bukan sekadar dana—ia adalah napas. Dan tidak ada sebuah daerah yang dapat hidup jika napas desanya dibiarkan tersengal-sengal. ( *** )






